Makanan adalah arsip yang hidup. Ia menyimpan cerita tentang migrasi, perjumpaan budaya, dan adaptasi lintas generasi. Salah satu contoh paling mencolok dari simbiosis budaya di Asia Tenggara hadir dalam bentuk kuliner Peranakan—sebuah percampuran yang kaya antara warisan Cina, Melayu, dan India, yang bersatu dalam satu meja makan.
Dikenal pula dengan nama “Nyonya cuisine” atau “Straits Chinese food”, kuliner Peranakan bukan sekadar hasil fusi budaya, melainkan sebuah identitas yang berdiri sendiri, lengkap dengan filosofi rasa, teknik memasak, hingga makna simbolis dalam setiap hidangannya.
Sejarah yang Terhidang
Asal mula makanan Peranakan dapat ditelusuri ke abad ke-15, ketika para pedagang Tionghoa bermigrasi ke pelabuhan-pelabuhan penting seperti Melaka, Penang, dan Singapura. Mereka menikah dengan perempuan setempat, menciptakan komunitas Baba-Nyonya yang menggabungkan gaya hidup Cina dengan adat istiadat Melayu dan pengaruh India.
Perkawinan budaya ini tidak hanya tercermin dalam pakaian dan bahasa, tetapi juga dalam cita rasa dapur. Bumbu Melayu yang kaya rempah, teknik masak Cina yang presisi, serta penggunaan bahan khas India seperti jintan dan kari, semuanya melebur menjadi gaya kuliner yang unik.
Rasa yang Berlapis dan Berani
Apa yang membedakan makanan Peranakan dari masakan Asia lainnya adalah keseimbangan rasa yang berani. Pedas, asam, manis, dan gurih hadir dalam satu piring, namun tetap harmonis. Ini bukan sekadar tentang mencampur, tetapi tentang mengolah rasa agar saling melengkapi, bukan menutupi.
Contohnya, “Ayam Buah Keluak” adalah hidangan khas Peranakan yang menggunakan biji keluak hitam—bahan lokal yang difermentasi, lalu diisi ulang dengan adonan rempah dan daging ayam. Rasanya pahit-manis-gurih, dengan kedalaman rasa seperti rendang namun aroma seperti sup herbal Cina.
Sementara itu, “Laksa Nyonya” atau “Laksa Lemak” adalah contoh lain dari pertemuan rasa. Kuah santan khas Melayu diperkaya dengan udang kering dan daun kesum, lalu diberi sentuhan mie beras ala Cina, serta taburan sambal belacan yang menggoda lidah.
Teknik Masak yang Telaten
Tidak seperti masakan cepat saji yang populer saat ini, makanan Peranakan menuntut ketelatenan dan dedikasi tinggi. Banyak resep diwariskan secara lisan, dengan takaran “secukupnya” yang hanya bisa dipahami melalui jam terbang memasak.
Teknik seperti menumis bumbu hingga keluar minyak (pecah minyak), membuat pasta rempah dari awal, hingga proses fermentasi bahan, merupakan bagian tak terpisahkan dari dapur Peranakan. Tak heran jika makanan ini dianggap sebagai bentuk seni memasak yang nyaris ritualistik.
Sentuhan India yang Tersembunyi
Meski lebih dikenal sebagai gabungan Cina-Melayu, pengaruh India dalam makanan Peranakan tak bisa diabaikan. Rempah-rempah seperti jintan, kayu manis, cengkeh, dan kapulaga sering muncul dalam gulai dan kari Peranakan.
Contoh menarik adalah “Itik Tim”—sup bebek asin yang diolah dengan gaya sup Cina, tetapi diberi sentuhan rempah hangat khas India, menghasilkan rasa yang kompleks dan menyegarkan. Dalam beberapa resep laksa, bahkan ditemukan penggunaan daun kari atau bubuk masala ringan yang memperkaya aroma.
Simbol Sosial dalam Hidangan
Makanan Peranakan tidak hanya hadir di meja makan, tetapi juga dalam upacara penting seperti pernikahan, tahun baru Imlek, atau perayaan Cap Go Meh. Hidangan seperti “Kueh Lapis”, “Pineapple Tarts”, atau “Ngo Hiang” menjadi simbol keberuntungan, keberlimpahan, dan keharmonisan dalam keluarga.
Di sinilah makanan menjadi medium komunikasi lintas generasi, menyampaikan nilai-nilai melalui rasa dan kebersamaan. Setiap suapan adalah pengingat akan akar budaya yang kompleks namun saling mengisi.
Relevansi di Era Modern
Dalam dunia yang semakin homogen karena globalisasi, makanan Peranakan justru tampil sebagai penanda keberagaman yang otentik. Banyak restoran dan koki muda kini mencoba menghidupkan kembali resep Nyonya yang nyaris punah, baik dalam bentuk pop-up dining, buku resep, hingga festival kuliner.
Tren ini menunjukkan bahwa meski dunia berubah, selera akan kekayaan rasa dan makna dalam makanan tetap abadi. Kuliner Peranakan, dengan segala kerumitannya, menjadi bentuk perlawanan terhadap penyederhanaan budaya dalam kemasan instan.
Kesimpulan
Makanan Peranakan bukan sekadar perpaduan antara Cina, Melayu, dan India. Ia adalah wujud dari bagaimana budaya bisa saling mengenal, menghargai, dan berkolaborasi. Dalam setiap racikan bumbu dan teknik masak yang telaten, tersembunyi semangat kebersamaan yang melampaui perbedaan.
Di satu meja, tiga dunia duduk bersama. Dan dari sana, lahirlah rasa yang tak tertandingi, bukan karena keunikannya semata, tetapi karena cerita di baliknya. Maka, saat Anda menyantap semangkuk laksa atau sepotong kue lapis, ingatlah: Anda sedang mencicipi sejarah, cinta, dan identitas yang bersatu dalam harmoni.